
Biar tidak bernasib sama seperti
Hasil pilihan kita akan diumumkan pada 31 Desember 2011.
Blog ini berupa kumpulan artikel, naskah, tulisan hasil pemikiran, pengetahuan populer dan lain sebagainya. Anda bisa bergabung menyumbangkan tulisan tersebut untuk sharing kepada kita semua. Yang penting tulisan tidak mengandung unsur SARA. Ini adalah kepedulian kami untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa.
Biar tidak bernasib sama seperti
Hasil pilihan kita akan diumumkan pada 31 Desember 2011.
Sebetulnya istilah-istilah atom, proton, dan sebagainya, semua hanyalah “model”. Artinya nama-nama tersebut dikaitkan dengan suatu gejala tertentu, sedemikian rupa sehingga dengan model itu para ilmuwan akan lebih mudah bekerja.
Sebab itu “model” atom bisa bermacam-macam. Dalam sejarah fisika atom, dikenal model-model atom mulai dari
Jadi pernahkah para ilmuwan melihat elektron? Gelombang? Cahaya? Tidak pernah! Ia bahkan tidak akan pernah tahu apa persisnya semua itu.
Thomson misalnya: sekalipun dikatakan sebagai penemu elektron, ia sebetulnya tidak pernah tahu seperti apakah elektron itu. Yang dia lakukan hanyalah membuat eksperimen. Lalu ia perhatikan gejala-gejala atau sifat-sifat hasil eksperimennya. Dari
Namun, baiklah, mari kita coba-coba melakukan eksperimen khayal. Istilahnya “Gedunken Experiment” alias eksperimen dalam pikiran. Maksud kita hendak melihat elektron.
Okelah kita anggap kita mempunyai semua peralatan yang dibutuhkan. Kita perkirakan ada sebuah mikroskop elektron yang sangat luar biasa. Daya uraiannya kita anggap akan sanggup menembus “kabut atomik”. Ditunjang lagi dengan daya pembesaran mencapai 100 bilyun kali! Memang dengan perbesaran begitu, secara teoritis dapat diramalkan elektron akan terlihat oleh mata.
Akan tetapi, apa yang terjadi? Ternyata tak semudah apa yang dibayangkan. Masalahnya begini. Dalam kehidupan sehari-hari biasanya kita bisa melihat karena pertolongan cahaya visual (kasat mata). Cahaya ini mempunyai panjang gelombang antara 3800 angstrom sampai 7500 angstrom; dimana 1 angstrom = 10-8 cm.
Padahal kita tahu elektron jauh lebih kecil dari itu. Diameternya sepertiga milyar milimeter. Tentu akibatnya malah elektron tersebut akan “tertutupi”. Ibarat mau melihat bola, lalu bola itu kita tutup dengan sehelai kain hitam yang panjang. Mana mungkin akan terlihat!
Apa akal? Terpaksa kita cari cahaya lain. Tapi panjang gelombangnya mesti yang lebih pendek dari diameter (garis tengah) elektron. Kalau tidak, sama saja bohong! Namun resikonya, kita terpaksa melihat bukan dengan mata. Sebab mata hanya mampu bekerja pada rentang gelombang optis (cahaya tampak).
Baiklah kita gunakan saja alat detektor supercanggih, berfungsi laksana “mata”. Ternyata kesulitan tetap saja tak teratasi. Kalau kita pakai sinar-X, panjang gelombangnya masih sedikit besar ketimbang elektron. Yah … akhirnya elektron tak akan kelihatan juga.
Terpaksa kita ganti dengan sinar lain. Akhirnya satu-satunya pilihan cuma sinar gamma. Sinar itu dipancarkan oleh radium hingga sering disebut sinar radium. Sinar ini memiliki frekuensi yang sangat tinggi. Itu berarti energinya pun sangat tinggi.
Namun, apa yang terjadi sewaktu pas alat detektor kita corongkan ke lensa supermikroskop? Bentuk apakah yang terlihat jauh di kedalaman
Tidak! Kita tak menemukan apa-apa! Lho … koq bisa? Bukankah tadi elektron masih ada? Kenapa tiba-tiba bisa lenyap tanpa jejak begitu saja? Apa yang telah terjadi? Ya … sewaktu sinar gamma datang menghampiri elektron, ternyata elektron malah tidak sanggup mematulkan sinar itu kembali ke mata detektor. Ia tak sanggup menahan hantaman sinar gamma berenergi sangat tinggi itu. Elektron malah terhambur, terpental entah ke mana. Kecepatan gerak elektron jadi luar biasa. Tentu saja … detektor tak akan sanggup mencari “di mana dia”! sia … sia … putuslah asa … kecewa! Tapi, apa mau dikata …!
Batas Pengetahuan
Persisnya elektron, tak berposisi sama sekali. Usaha untuk menemukan elektron saja menendangnya ke luar lapangan pengamatan. Usaha menemukan tempatnya, baik dilakukan secara eksperimen atau cuma dikhayalkan saja, sama persis dengan memberinya kecepatan serta arah yang tidak dapat diketahui.
Mustahil bisa ditentukan kedudukannya dalam ruang-waktu. Dilematika yang ditimbulkan oleh sebutir elektron pada indera manusia ini, langsung ditangani oleh ahli fisika kuantum, Werner Heisenberg, pemenang hadiah Nobel tahun 1932. Ia mengumumkan apa yang disebutnya asas ketidakpastian.
Menurut asas ini, mustahil mempertautkan pada indera manusia semua sifat diskriptif sehari-hari dalam dunia “ghaib” subatomik. Bahkan sampai waktu kapan pun!
Memang, kini dikenal elektron punya deskriptif tertentu, seperti spin,
Percobaan hanya mungkin dilakukan dalam jumlah yang banyak. Semisal satu gram unsur yang terdiri dari berbilyun-bilyun atom. Akibatnya hasil perhitungan hanyalah “kira-kira”. Pendekatan statistik, sebab ia hanya merupakan kesimpulan rata-rata dari sejumlah besar angka-angka.
Jika ilmu pengetahuan coba-coba melakukan eksperimen pada suatu satuan dasar, seperti halnya menyelidiki satu atom, apalagi satu elektron. Maka ia akan berhadapan dengan suatu kemustahilan yang maha mutlak!
Banyak para ilmuwan merasa azas ketidakpastian Heisenberg adalah sifat hakiki alam semesta. Mereka yakin, detail paling halus dalam kosmos sering diliputi kekaburan. Ia tak
Seolah Heisenberg berkata, “
Dalam zaman serba “wah” ini masih banyak orang yang tidak percaya pada adanya makhluk-makhluk ghaib seumpama malaikat, iblis, jin, dan sebagainya. Bahkan eksistensi Allah pun tak diakuinya …!
Kalau ditanya pada mereka apa sebabnya? Mereka akan menjawab mana buktinya? Seolah dengan pongah ia berkata, “sesuatu yang ada pasti ada buktinya”. Tanpa ia sadari bahwa tak semua “yang ada” dapat dibuktikan keberadaannya! Sebab memang ada batas –seperti kata Heisenberg juga. Dan di luar batas itu, bersrimaharajalela keghaiban yang maha mutlak.
Tak ada cara buat ilmu pengetahuan mengenal yang “ghaib”. Einstein sendiri menyadari, setiap besaran-besaran fisik yang kita ukur senantiasa akan tersandung di bawah kerelatifan.
Sumber : Dari berbagai sumber
Dalam suatu diskusi, temanku pernah bilang bahwa begitu kita dilahirkan, kita sudah dikondisikan oleh budaya, kepercayaan, termasuk agama yang berlaku setempat. Boleh dikatakan bahwa kita menjadi apa adanya sekarang, karena sebuah “kebetulan” yang bukan kita yang pilih. Saya bayangkan apabila saya dilahirkan di sebuah keluarga keturunan Cina, mungkin saya akan beragama Budha, Kong Hu Chu atau Kristen. Apabila saya dilahirkan di pedalaman hutan Papua, mungkin saya akan menjadi penganut anisme atau kalau kebetulan orang tua saya anggota jemaah Ahmadiyah, mungkin saya juga akan menjadi pemeluk Ahmadiyah yang taat. Apabila ada yang merasa beruntung karena dilahirkan dalam keluarga Islam sehingga bisa menjadi pemeluk Islam, begitu pula perasaan yang sama dialami oleh mereka yang diahirkan dalam keluarga Kristen, Hindu, Budha, Ahmadiyah dan sebagainya. Apakah mereka bisa disalahkan hanya karena menaati sesuatu ajaran, ritual atau mazhab keagamaan yang disosialisasikan sejak kecil yang mana mereka tidak bisa memilih atau menghindarinya?
Saya tidak memilih untuk dilahirkan didalam keluarga Islam dan dibesarkan secara itu, tetapi saya bersyukur bahwa melalui agama Islam saya bisa mengenal Tuhan. Karena itu saya ingin di hormati dengan segala atribut yang saya miliki, tetapi saya tidak bisa memaksakan orang lain untuk percaya kepada agama saya. “Tidak ada paksaan untuk memasuki agama”. (Al Baqarah : 256).
Begitu pula pemeluk agama lainnya yang harus dihormati karena menyembah Tuhannya melalui ritual keagamaannya, karena mereka juga tidak memilih untuk dilahirkan dan dibesarkan daam lingkungan agama atau mazhabnya.
Oleh karena itu, tindakan brutal sekelompok orang yang mengaku ingin menegakkan agama dengan teror, ancaman dan pengrusakan tempat ibadah atau memaksa kelompok lain untuk jangan berbeda adalah tindakan yang bertentangan dengan hakikat toleransi beragama dan hak azasi manusia yang dijamin oleh konstitusi. Hal itu juga bertentangan dengan spirit dari agama itu sendiri.
Jalaluddin Rumi, seorang penyair Sufi besar dari Persia abad ke-13, pernah menuliskan kisah Nabi Musa yang diajarkan Tuhan untuk bersikab toleran terhadap pemahaman yang berbeda, yang dituangkan dalam bait-bait puisinya yang indah dalam Masnawi. Puisi ini telah diterjemahkan dari bahasa Persia oleh Nicholson dengan judul The Shepherd’s Prayer by Rumi in RA Nicholson’s Rumi, Poet and Mystic, London, 1950. Berikut terjemahan bebasnya :
“Ketika Musa sedang berjalan, ia mendengar seorang penggembala yang sedang berdo’a sambil meratap, ”Oh Tuhan di manakah gerangan Engkau, karena aku ingin melayani-Mu dan menjahitkan sepatu-Mu, menyisirkan rambut-Mu. Aku ingin mencuci baju-Mu, membunuh kutu kepala-Mu dan membawakan susu untuk-Mu, oh Duhai yang maha terpuji.” Mendengar kata-kata yang dianggap bodoh tersebut, Musa berkata, “Kepada siapa kamu bicara? Betapa kata-kata itu tidak bermakna; memalukan dan liar! Sumbat mulutmu dengan kapas!… Tuhan yang Maha Agung tidak memerlukan pelayanan seperti itu.” Sang penggembala menjadi amat kecewa dan sedih, dan merobek bajunya sambil pergi ke arah yang tidak menentu. Kemudian datang wahyu Tuhan kepada Musa : “Kamu telah memisahkan hambaKu dari aku… Aku telah anugerahkan kepada setiap manusia cara berdo’a masing-masing; Aku telah berikan cara khusus kepada masing-masing untuk berekspresi.
Bahasa yang digunaan oleh orang Hindustan adalah sangat indah bagi pemeluk Hindu, begitu juga bahasa Sindhu yang amat indah bagi pemeluk Sindhu. Aku tidak melihat pada ucapan lidah, tetapi Aku melihat ke dalam sanubari dan perasaan terdalam hati manusia. Aku melihat ke dalam hati manusia untuk melihat apakah ada kerendahhatian, walaupun ucapannya tidak menunjukan demikian. Cukuplah sudah segala macam ungkapan dan metafora! Aku menginginkan hati yang membara dengan api cinta, hati yang membara! Biasakanlah dengan bara api tersebut!”
Tuhan memang sengaja menciptakan manusia secara berbeda-beda suku bangsa, budaya dan agama. “Kami telah menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah yang paling taqwa diantara kamu” (Al-Hujarat : 13). Arti taqwa menurut Prof Dr. Hamka dalam tafsir Al Azharnya adalah memelihara diri dari perbuatan yang tidak disukai Tuhan, selalu melakukan kebajikan dan mempunyai tingkah laku terpuji. Jadi siapapun yang memiliki akhlak mulia, takut kepada Tuhan dan selalu menjaga lidah, tangan dan hati dari perbuatan yang tidak terpuji maka merekalah yang paing mulia di sisi Tuhan. Sebaiknya, mereka yang tinggi hati, merasa diri paling beriman dan benar, pendendam dan pemarah, gemar melakukan penyerangan, perusakan dan perilaku buruk lainnya, adalah tindakan yang tidak mencerminkan ketaqwaan, walaupun orang tersebut mengaku telah beragama.
Perangai yang baik atau ketaqwaan adalah syarat untuk menemukan Tuhan. Plotinus, seorang mistikus neoplatonik Romawi abad ke-3 pernah berkata, “Tidak akan pernah suatu jiwa mengenal Keindahan Agung (Tuhan) kecuali jiwa itu sendiri menjadi indah”. Seperti halnya pendapat Jalaluddin Rumi, “Hanya Kebenaran yang mengetahui Kebenaran”. Dengan kata lain, hanya mereka yang hatinya bersih (taqwa) yang bisa mencapai Tuhan. Hal yang serupa juga diungkapan oleh Sachio Murata dalam bukunya The Tao of Islam bahwa servanthood; pengabdian, kerendahhatian dan penyerahan diri adalah kualitas yang pertama-tama yang harus dimiliki untuk mendapatkan kedudukan sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Namun, kebanyakan manusia yang merasa telah beragama mengklaim dirinya sebagai wakil Tuhan di muka bumi, tanpa mempunyai servanthood. Sehingga yang terjadi adalah pemujaan akan kebesaran diri, termasuk pemujaan terhadap apa yang diyakininya sebagai yang lebih baik dari yang lainnya.
Sifat ini adaah sifat Iblis yang menyatakan kebesaran dirinya, “Aku lebih baik dibandingkan Adam”. (Al-Araf:12). Manusia seperti ini berikir bahwa mereka telah menyembah Tuhan, tetapi sebetulnya sedang menyembah dirinya sendiri dengan segala atribut yang dimilikinya (materi, kekuasaan, termasuk agama yang dianutnya).
Menurut seorang Sufi yang lama bermukim di As, Bawa Muhayaidden, seluruh manusia di dunia ini diibaratkan sebagai para musafir yang sedang dalam perjalanan panjang di gurun pasir untuk menuju suatu tempat keabadian. Kita semua sedang mencari air kesejukan di sebuah oase untuk bekal dalam perjalanan panjang ini. Sesampainya di oase, kebanyakan manusia lupa untuk mengambil air kesejukan tersebut, karena melihat adanya perbedaan diantara mereka.