Rabu, 31 Desember 2008

Tebarkan Damai di Hati

Dalam suatu diskusi, temanku pernah bilang bahwa begitu kita dilahirkan, kita sudah dikondisikan oleh budaya, kepercayaan, termasuk agama yang berlaku setempat. Boleh dikatakan bahwa kita menjadi apa adanya sekarang, karena sebuah “kebetulan” yang bukan kita yang pilih. Saya bayangkan apabila saya dilahirkan di sebuah keluarga keturunan Cina, mungkin saya akan beragama Budha, Kong Hu Chu atau Kristen. Apabila saya dilahirkan di pedalaman hutan Papua, mungkin saya akan menjadi penganut anisme atau kalau kebetulan orang tua saya anggota jemaah Ahmadiyah, mungkin saya juga akan menjadi pemeluk Ahmadiyah yang taat. Apabila ada yang merasa beruntung karena dilahirkan dalam keluarga Islam sehingga bisa menjadi pemeluk Islam, begitu pula perasaan yang sama dialami oleh mereka yang diahirkan dalam keluarga Kristen, Hindu, Budha, Ahmadiyah dan sebagainya. Apakah mereka bisa disalahkan hanya karena menaati sesuatu ajaran, ritual atau mazhab keagamaan yang disosialisasikan sejak kecil yang mana mereka tidak bisa memilih atau menghindarinya?

Saya tidak memilih untuk dilahirkan didalam keluarga Islam dan dibesarkan secara itu, tetapi saya bersyukur bahwa melalui agama Islam saya bisa mengenal Tuhan. Karena itu saya ingin di hormati dengan segala atribut yang saya miliki, tetapi saya tidak bisa memaksakan orang lain untuk percaya kepada agama saya. “Tidak ada paksaan untuk memasuki agama”. (Al Baqarah : 256).

Begitu pula pemeluk agama lainnya yang harus dihormati karena menyembah Tuhannya melalui ritual keagamaannya, karena mereka juga tidak memilih untuk dilahirkan dan dibesarkan daam lingkungan agama atau mazhabnya.

Oleh karena itu, tindakan brutal sekelompok orang yang mengaku ingin menegakkan agama dengan teror, ancaman dan pengrusakan tempat ibadah atau memaksa kelompok lain untuk jangan berbeda adalah tindakan yang bertentangan dengan hakikat toleransi beragama dan hak azasi manusia yang dijamin oleh konstitusi. Hal itu juga bertentangan dengan spirit dari agama itu sendiri.

Jalaluddin Rumi, seorang penyair Sufi besar dari Persia abad ke-13, pernah menuliskan kisah Nabi Musa yang diajarkan Tuhan untuk bersikab toleran terhadap pemahaman yang berbeda, yang dituangkan dalam bait-bait puisinya yang indah dalam Masnawi. Puisi ini telah diterjemahkan dari bahasa Persia oleh Nicholson dengan judul The Shepherd’s Prayer by Rumi in RA Nicholson’s Rumi, Poet and Mystic, London, 1950. Berikut terjemahan bebasnya :

“Ketika Musa sedang berjalan, ia mendengar seorang penggembala yang sedang berdo’a sambil meratap, ”Oh Tuhan di manakah gerangan Engkau, karena aku ingin melayani-Mu dan menjahitkan sepatu-Mu, menyisirkan rambut-Mu. Aku ingin mencuci baju-Mu, membunuh kutu kepala-Mu dan membawakan susu untuk-Mu, oh Duhai yang maha terpuji.” Mendengar kata-kata yang dianggap bodoh tersebut, Musa berkata, “Kepada siapa kamu bicara? Betapa kata-kata itu tidak bermakna; memalukan dan liar! Sumbat mulutmu dengan kapas!… Tuhan yang Maha Agung tidak memerlukan pelayanan seperti itu.” Sang penggembala menjadi amat kecewa dan sedih, dan merobek bajunya sambil pergi ke arah yang tidak menentu. Kemudian datang wahyu Tuhan kepada Musa : “Kamu telah memisahkan hambaKu dari aku… Aku telah anugerahkan kepada setiap manusia cara berdo’a masing-masing; Aku telah berikan cara khusus kepada masing-masing untuk berekspresi.

Bahasa yang digunaan oleh orang Hindustan adalah sangat indah bagi pemeluk Hindu, begitu juga bahasa Sindhu yang amat indah bagi pemeluk Sindhu. Aku tidak melihat pada ucapan lidah, tetapi Aku melihat ke dalam sanubari dan perasaan terdalam hati manusia. Aku melihat ke dalam hati manusia untuk melihat apakah ada kerendahhatian, walaupun ucapannya tidak menunjukan demikian. Cukuplah sudah segala macam ungkapan dan metafora! Aku menginginkan hati yang membara dengan api cinta, hati yang membara! Biasakanlah dengan bara api tersebut!”

Tuhan memang sengaja menciptakan manusia secara berbeda-beda suku bangsa, budaya dan agama. “Kami telah menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah yang paling taqwa diantara kamu” (Al-Hujarat : 13). Arti taqwa menurut Prof Dr. Hamka dalam tafsir Al Azharnya adalah memelihara diri dari perbuatan yang tidak disukai Tuhan, selalu melakukan kebajikan dan mempunyai tingkah laku terpuji. Jadi siapapun yang memiliki akhlak mulia, takut kepada Tuhan dan selalu menjaga lidah, tangan dan hati dari perbuatan yang tidak terpuji maka merekalah yang paing mulia di sisi Tuhan. Sebaiknya, mereka yang tinggi hati, merasa diri paling beriman dan benar, pendendam dan pemarah, gemar melakukan penyerangan, perusakan dan perilaku buruk lainnya, adalah tindakan yang tidak mencerminkan ketaqwaan, walaupun orang tersebut mengaku telah beragama.

Perangai yang baik atau ketaqwaan adalah syarat untuk menemukan Tuhan. Plotinus, seorang mistikus neoplatonik Romawi abad ke-3 pernah berkata, “Tidak akan pernah suatu jiwa mengenal Keindahan Agung (Tuhan) kecuali jiwa itu sendiri menjadi indah”. Seperti halnya pendapat Jalaluddin Rumi, “Hanya Kebenaran yang mengetahui Kebenaran”. Dengan kata lain, hanya mereka yang hatinya bersih (taqwa) yang bisa mencapai Tuhan. Hal yang serupa juga diungkapan oleh Sachio Murata dalam bukunya The Tao of Islam bahwa servanthood; pengabdian, kerendahhatian dan penyerahan diri adalah kualitas yang pertama-tama yang harus dimiliki untuk mendapatkan kedudukan sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Namun, kebanyakan manusia yang merasa telah beragama mengklaim dirinya sebagai wakil Tuhan di muka bumi, tanpa mempunyai servanthood. Sehingga yang terjadi adalah pemujaan akan kebesaran diri, termasuk pemujaan terhadap apa yang diyakininya sebagai yang lebih baik dari yang lainnya.

Sifat ini adaah sifat Iblis yang menyatakan kebesaran dirinya, “Aku lebih baik dibandingkan Adam”. (Al-Araf:12). Manusia seperti ini berikir bahwa mereka telah menyembah Tuhan, tetapi sebetulnya sedang menyembah dirinya sendiri dengan segala atribut yang dimilikinya (materi, kekuasaan, termasuk agama yang dianutnya).

Menurut seorang Sufi yang lama bermukim di As, Bawa Muhayaidden, seluruh manusia di dunia ini diibaratkan sebagai para musafir yang sedang dalam perjalanan panjang di gurun pasir untuk menuju suatu tempat keabadian. Kita semua sedang mencari air kesejukan di sebuah oase untuk bekal dalam perjalanan panjang ini. Sesampainya di oase, kebanyakan manusia lupa untuk mengambil air kesejukan tersebut, karena melihat adanya perbedaan diantara mereka. Ada yang membawa wadah air dari logam, ada juga yang dari kuningan, kayu dan sebagainya. Manusia saling menyalahkan bahwa wadah yang dibawa orang lain adalah salah karena seharusnya memakai wadah seperti yang dimilikinya. Mereka saling beradu pendapat, bahkan berkelahi dan saling membunuh. Ketika waktu mereka telah habis, mereka tidak sempat mengisi wadahnya dengan air kesejukan, sehingga tidak mempunyai bekal apa-apa untuk mengarungi tempat Keabadian. Hanya segelintir manusia yang betul-betul memfokuskan dirinya untuk mengambil bekal air kesejukan tersebut, tanpa menghiraukan perbedaan wadah orang lain. Mereka inilah yang mempunyai bekal cukup untuk mengarungi kehidupan yang abadi kelak. Wallahualam (hanya Tuhan yang mengetahui Kebenaran).

Syair Penjual Kacang

Al-Habib, seorang yang dikasihi oleh banyak orang dan senantiasa didambakan kemuliaan hatinya, malam itu mengimami shalat Isya’ suatu jamaah yang terdiri dari para pejabat negara dan pemuka masyarakat.

Berbeda dengan adatnya, sesudah tahiyyat akhir diakhiri dengan salam, Al-Habib langsung membalikkan tubuhnya, menghadapkan wajahnya kepada para jamaah dan menyorotkan matanya tajam-tajam.

”Salah satu dari kalian keluarlah sejenak dari ruangan ini,” katanya, ”Di halaman depan sedang berdiri seorang penjual kacang godok. Keluarkan sebagian dari uang kalian, belilah barang beberapa bungkus.”

Beberapa orang langsung berdiri dan berlari keluar, dan kembali ke ruangan beberapa saat kemudian.

”Makanlah kalian semua,” lanjut Al-Habib, ”Makanlah biji-biji kacang itu, yang diciptakan oleh Allah dengan kemuliaan, yang dijual oleh kemuliaan, dan dibeli oleh kemuliaan.”

Para jamaah tak begitu memahami kata-kata Al-Habib, sehingga sambil menguliti dan memakan kacang, wajah mereka tampak kosong.

”Setiap penerimaan dan pengeluaran uang,” kata Al-Habib, ”hendaklah dipertimbangkan berdasarkan nilai kemuliaan. Bagaimana mencari uang, bagaimana sifat proses datangnya uang ke saku kalian, untuk apa dan kepada siapa uang itu dibelanjakan atau diberikan, akan menjadi ibadah yang tinggi derajatnya apabila diberangkatkan dari perhitungan untuk memperoleh kemuliaan.”

”Tetapi ya Habib,” seseorang bertanya, ”apa hubungannya antara kita beli kacang malam ini dengan kemuliaan?”

Al-Habib menjawab, ”Penjual kacang itu bekerja sampai nanti larut malam atau bahkan sampai menjelang pagi. Ia menyusuri jalanan, menembus gang-gang kota dan kampung-kampung. Di malam hari pada umumnya orang tidur, tetapi penjual kacang itu amat yakin bahwa Allah membagi rejeki bahkan kepada seekor nyamuk pun. Itu taqwa namanya. Berbeda dari sebagian kalian yang sering tak yakin akan kemurahan Allah, sehingga cemas dan untuk menghilangkan kecemasan dalam hidupnya ia lantas melakukan korupsi, menjilat atasan serta bersedia melakukan dosa apa pun saja asal mendatangkan uang.”

Suasana menjadi hening. Para jamaah menundukkan kepala dalam-dalam. Dan Al-Habib meneruskan, ”Istri dan anak penjual kacang itu menunggu di rumah, menunggu dua atau tiga rupiah hasil kerja semalaman. Mereka ikhlas dalam keadaan itu. Penjual kacang itu tidak mencuri atau memperoleh uang secara jalan pintas lainnya. Kalau ia punya situasi mental pencuri, tidaklah ia akan tahan berjam-jam berjualan.”

”Punyakah kalian ketahanan mental setinggi itu?” Al-Habib bertanya, ”Lebih muliakah kalian dibanding penjual kacang itu, atau ia lebih mulia dari kalian? Lebih rendahkah derajat penjual kacang itu dibandingkan kalian, atau di mata Allah ia lebih tinggi maqam-nya dari kalian? Kalau demikian, kenapa di hati kalian selalu ada perasaan dan anggapan bahwa seorang penjual kacang adalah orang rendah dan orang kecil?”

Dan ketika akhirnya Al-Habib mengatakan, ” Maha Mulia Allah yang menciptakan kacang, sangat mulia si penjual itu dalam pekerjaannya, serta mulia pulalah kalian yang membeli kacang berdasar makrifat terhadap kemuliaan…”


Selamat Tahun Baru 2009

Hari Ini

Aku akan memulainya dengan ucapan syukur dan senyuman bukan
kritikan. Akan kuhargai setiap detik, menit dan jam, karena
tak sedetik pun dapat ditarik kembali.

Hari ini tidak akan kusia-siakan, seperti waktu lalu yang
terbuang percuma. Hari ini takkan kuisi dengan kecemasan
tentang apa yang akan terjadi esok.

Akan kupakai waktuku untuk membuat sesuatu yang kuidamkan
terjadi. Hari ini aku belajar lagi, untuk merubah diri
sendiri.

Hari ini akan kuisi dengan karya.

Kutinggalkan angan-angan, yang selalu mengatakan:
"Aku akan melakukan sesuatu jika keadaan berubah."

Jikalau keadaan tetap sama saja, dengan kemurahan-Nya aku
tetap akan sukses dengan apa yang ada padaku.

Hari ini aku akan berhenti berkata: "Aku tidak punya waktu"
Karena aku tahu, aku tidak pernah mempunyai waktu untuk
apapun. Jika aku ingin memiliki waktu, aku harus meluangkannya.

Hari ini akan kulalui seolah hari akhirku. Akan kulakukan
yang terbaik dan tidak akan ditunda sampai esok.
Karena hari esok belum tentu ada.

SELAMAT TAHUN BARU 2009